Foot Note/Kolom Opini

Wartawan Harus Independen: Stop Rangkap Jabatan di LSM dan Ormas

YOGYAKARTA – PERSBHAYANGKARA.ID 

Oleh: Mas Andre Hariyanto, Penulis Buku Mutiara Hikmah & Trainer Jurnalistik Nasional

Dalam beberapa tahun terakhir, persoalan perangkapan profesi – di mana seorang wartawan juga aktif sebagai pengurus atau anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi kemasyarakatan – makin sering mendapatkan sorotan. Dewan Pers bahkan telah secara terbuka mengeluarkan imbauan agar wartawan melepaskan peran ganda tersebut demi menjaga independensi dan kredibilitas pers.

Menurut saya, keputusan Dewan Pers itu tepat, dan ada alasan-alasan mendasar mengapa profesi wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai aktivis LSM atau ormas. Di bawah ini saya paparkan argumentasi, sekaligus mengajak rekan-rekan wartawan dan masyarakat luas memahami pentingnya menjaga “kemurnian” profesi jurnalistik.

Dasar Regulasi dan Etika: Profesi, Independensi, dan Kepercayaan Publik

1. Landasan hukum dan kode etik jurnalistik

Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers menyebut bahwa “yang dimaksud dengan ‘Kode Etik Jurnalistik’ adalah kode etik yang disepakati organisasi wartawan dan ditetapkan oleh Dewan Pers.”

Pada Pasal 7 UU Pers dinyatakan bahwa wartawan Indonesia memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.

Dewan Pers kemudian merumuskan Kode Etik Jurnalistik melalui Peraturan Dewan Pers Nomor 6/Peraturan-DP/V/2008 sebagai landasan etis bagi semua wartawan Indonesia.

Selain itu, baru-baru ini Dewan Pers juga mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 03/PERATURAN-DP/IV/2024 tentang Pedoman Perilaku dan Standar Pers Profesional, yang semakin menegaskan pentingnya perilaku profesional dalam dunia pers.

Jadi, sudah ada kerangka regulasi — baik hukum maupun etika profesi — yang jelas menempatkan wartawan dalam posisi yang berbeda dari aktor-aktor sosial lainnya.

2. Independensi sebagai syarat mutlak profesi jurnalistik

Salah satu nilai inti dalam Kode Etik Jurnalistik adalah independensi — wartawan harus bekerja berdasarkan penilaian profesional tanpa tergantung atau terpengaruh oleh kepentingan luar.

Ketika seorang wartawan aktif dalam LSM atau ormas yang memiliki agenda tertentu, akan sangat sulit untuk memastikan bahwa keputusan jurnalistiknya — misalnya dalam memilih topik, sudut pemberitaan, narasumber — tidak dipengaruhi oleh kepentingan organisasi tersebut. Konflik kepentingan dapat muncul secara halus atau bahkan tak disadari.

3. Kepercayaan publik dan persepsi objektivitas

Pers atau media memiliki peran sosial yang besar: menyajikan informasi jujur, akurat, dan berimbang agar publik dapat mengambil keputusan berdasarkan fakta. Bila masyarakat melihat wartawan juga menjabat di organisasi aktivis, maka persepsi bahwa wartawan “berkepentingan” akan mudah muncul — dan citra media bisa tercemar.

Banyak masyarakat merasa tidak nyaman ketika ada wartawan yang “bermain di dua sisi” — sebagai jurnalis sekaligus aktivis LSM/ormas — karena dikhawatirkan jurnalisme digunakan untuk menguatkan agenda politik atau advokasi organisasi tersebut. Imbauan Dewan Pers itu menurut saya juga lahir dari keresahan sosial semacam ini.

Kritik terhadap argumen “hak konstitusional aktivisme”

Pihak yang mempertahankan kebebasan seorang wartawan untuk menjadi anggota LSM sering berargumen bahwa hak menjadi aktivis atau anggota organisasi sosial adalah hak konstitusional, bahkan bagi wartawan. Memang benar bahwa hak untuk berserikat dan berorganisasi dilindungi oleh konstitusi.

Namun, kebebasan itu tidak bersifat absolut dalam konteks profesi. Apabila eksistensi ganda itu merusak fungsi, martabat, dan integritas profesi jurnalistik, maka regulasi etis — seperti yang dibuat Dewan Pers — sangatlah wajar dan perlu.

Dewan Pers sendiri dalam Seruan Nomor 02/S-DP/XI/2023 menyebut:

“Seseorang menjadi anggota/aktivis LSM dan anggota organisasi massa merupakan hak asasi … Akan tetapi, demi menjaga independensi dan menghindari terjadinya konflik kepentingan sebagai wartawan profesional, apabila ada peristiwa yang menyangkut kepentingan LSM yang dipimpin/diikuti wartawan tersebut wajib tidak melakukan kerja jurnalistik terkait subjek/objek LSM … lebih baik lagi apabila wartawan tersebut mengundurkan diri dari keanggotaan/aktivitas LSM atau ormas tertentu demi menjaga kemurnian pers profesional.”

Perkataan “lebih baik lagi apabila wartawan tersebut mengundurkan diri…” menegaskan bahwa Dewan Pers menganggap bahwa paling aman dan elegan adalah melepaskan keterlibatan organisasional demi menjaga posisi jurnalistik yang bersih.

Potensi bahaya praktik dan konflik kepentingan dalam perangkapan profesi

1. Pencampuran peran

Wartawan bisa saja menyuarakan agenda LSM-nya melalui pemberitaan, dengan menutupi identitas aktivisnya. Misalnya, liputan yang seolah-olah netral padahal sarat kepentingan advokasi tertentu.

2. Atribusi ganda atau tidak jujur kepada narasumber

Ada kasus di mana wartawan menyebut dirinya sebagai jurnalis, padahal dalam kenyataan ia adalah pengurus LSM, atau sebaliknya. Ini menciptakan bias atau ketidakjujuran dalam relasi wartawan–nara sumber.

3. Penggunaan media sebagai alat advokasi

Jika redaksi atau wartawan merangkap dalam LSM, ada kemungkinan media digunakan untuk mengampanyekan tujuan organisasi, yang kemudian mengaburkan batas antara pers dan advokasi.

4. Krisis kredibilitas internal di media

Dalam organisasi media yang melaporkan isu-isu sosial atau mengkritik lembaga publik, konflik kepentingan internal bisa muncul — siapa yang diberi ruang liputan atau perlakuan, apakah semua organisasi mendapat perlakuan sama atau organisasi tempat wartawan aktif diuntungkan.

Argumen kontra yang mesti dijawab

Beberapa wartawan berpendapat bahwa:

Aktivisme dan jurnalistik bisa dipisahkan, yakni ia akan menjaga agar aktivitas LSM-nya tidak memengaruhi kerja jurnalistiknya.

Profesionalisme bisa menjaga batas, sehingga tidak akan ada konflik kepentingan.

Namun, di lapangan kenyataannya seringkali batas itu kabur. Manusia tidak selalu objektif dalam menghadapi situasi di mana kepentingan organisasi ikut terkait. Tanpa kontrol eksternal, potensi penyimpangan terbuka lebar.

Kesimpulan & Seruan

Sebagai Pecinta Literasi, saya berpandangan bahwa agar profesi jurnalistik tetap disegani, dihormati, dan dipercaya masyarakat, maka:

1. Wartawan sebaiknya tidak merangkap sebagai pengurus atau aktif sebagai aktivis LSM/ormas

Jika ingin tetap terlibat sosial, pilihlah ruang-ruang non-aktif atau bukan dalam posisi pengurus, dan hindari liputan langsung tentang organisasi tersebut.

2. Media dan lembaga pers perlu menegakkan kebijakan internal

Media bisa membuat regulasi internal bahwa karyawan redaksi atau kru jurnalistik tidak boleh merangkap jabatan organisasi luar yang berpotensi konflik.

3. Sosialisasi kode etik dan kewajiban profesional

Media, lembaga jurnalistik, dan organisasi wartawan harus terus mengedukasi anggota tentang risiko perangkapan profesi dan konsekuensi etisnya.

4. Transparansi kepada publik

Jika secara historis seseorang pernah aktif dalam LSM, sebaiknya dinyatakan dengan jelas agar publik tahu latar belakang tersebut. Tapi yang terbaik tetap: menjaga agar tidak ada tumpang tindih.

Dengan menegakkan prinsip keprofesionalan jurnalistik yang murni — tanpa beban kepentingan organisasi luar — media dan wartawan bisa terus menjadi pilar utama demokrasi, menjadi pencerah publik, dan menjadi lembaga kritis yang dipercaya.

Semoga opini ini bisa menjadi bahan refleksi bagi rekan-rekan wartawan dari sabang sampao merauke dan pimpinan media, agar kita bersama menjaga marwah pers Indonesia.

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Paling Populer dalam 30 hari

To Top