BULELENG – persbhayangkara.id BALI
Berdasarkan data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Bali mewilayahi NTB, NTT dan juga Bali, disebutkan bahwa Kota Singaraja banyak menyimpan sumber arkeologi yang ada di masing-masing kecamatan se Kabupaten Buleleng.
Seperti cagar budaya berupa benda sebanyak 154 objek, berupa bangunan 30 objek, struktur sebanyak 17 objek dan situs sebanyak 63 objek
Dari hal tersebut,
Kota Singaraja yang juga disebut Singa Ambara Radja, dinilai layak dijadikan Kota Pusaka. Kelayakan tersebut karena banyaknya peninggalan warisan dari era kerajaan dan era kolonialisme Belanda baik bersifat tangible maupun intangible.
Komunitas Jurnalis Buleleng (KJB) dengan jeli menangkap signal ini, sehingga saat melaksanakan diskusi akhir Tahun 2019 di Gedung Mr. I Gusti Ketut Pudja, Jumat (20/12) siang lalu mengangkat tema diskusi tentang Singaraja Kota Pusaka.
Hasilnya, Pemerintah Kabupaten Buleleng diminta segera membentuk Tim Ahli Cagar Budaya.
Sejarahwan yang juga akademisi Undiksha Singaraja, Made Pageh mengatakan Kabupaten Buleleng memiliki modal warisan budaya yang tersebar di seluruh penjuru wilayah kecamatan se Kabupaten Buleleng. Bila ditinjau dari sudut warisan peninggalan era kerajaan tertuju kepada benda pusaka dan bila ditinjau dari sudut era kolonialisme Belanda, maka tertuju kepada eks pelabuhan Buleleng maupun bangunan bersejarah lainnya.
Iapun merinci warisan Kerajaan Buleleng, tidak terlepas dari tokoh kerajaan yakni Ki Barak Panji Sakti. Mengingat di Desa Panji itu ada pemereman Ki Barak Panji Sakti. Begitu pula Desa Bali Aga di Buleleng, yang memiliki beragam jenis peninggalan cagar budaya. Sedangkan untuk peninggalan era kolonialisme, Kabupaten Buleleng memiliki eks. Pelabuhan Buleleng yang merupakan salah satu peninggalan Belanda. Pada masanya, eks Pelabuhan Buleleng dulunya menjadi salah satu pelabuhan vital dan menjadi jalur perdagangan ekspor dan impor ke luar negeri. “Jadi kedua hal ini merupakan modal kuat bagi Buleleng, jika ingin berpredikat sebagai Kota Pusaka,” tandas Pageh.
Sementara itu Direktur Eksekutif Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) Nanang Asfarinal menerangkan Kabupaten Buleleng sejatinya sudah masuk sebagai anggota JKPI sejak Tahun 2011 lalu. “Langkah ini pun disebut sebagai persiapan mewujudkan Kota Singaraja sebagai Kota Pusaka.” ujarnya.
Lebih lanjut dikatakan Kabupaten Buleleng memiliki warisan tangible berupa bangunan pelabuhan dan arsitektur. Sedangkan warisan intangible berupa tari-tarian dan upacara adat. “Agar warisan tersebut terinventaris dengan baik, diharapkan kepada Pemerintah Kabupaten Buleleng untuk membentuk Tim Ahli Cagar Budaya.” ucapnya menegaskan.“Buleleng harus memiliki tim ahli cagar budaya, sehingga dapat menentukan bangunan cagar budaya kabupaten.” imbuhnya.
Hal itu dilakukan dengan tujuan, agar mengawal pelestarian, restorasi, kawasan dan bangunan.”Dan itu dipayungi oleh Undang Undang (UU) Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017. Seperti manuskrip, tradisi lisan adat istiadat, ritus, pengetahuan, tradisional.” terangnya.
Dia juga menyarankan untuk menjadikan Kota Singaraja bisa tampil sebagai Kota Pusaka Kebangsaan, agar Pemerintah Kabupaten Buleleng memaksimalkan kekuatan sejarah rumah Nyoman Rai Srimben yang merupakan Ibunda Sang Proklamator, Ir. Soekarno di Lingkungan Kelurahan Paket Agung, Kecamatan Buleleng. “Modal sejarah ini menjadi kekuatan untuk mewujudkan Kota Singaraja sebagai Kota Pusaka Kebangsaan. Karena selama ini ketika berbicara Soekarno, Buleleng belum terlihat.” ujarnya.”Jadi yang bisa dikembangkan adalah rekam jejak sejarah dari Ibunda Bung Karno,” pungkas Nanang Asfarinal.
Terhadap usulan ini, Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana mengaku siap mendukung secara lahir bathin pembentukan Singaraja sebagai Kota Pusaka. Namun demikian, dari dua warisan ini, baik sejarah kerajaan maupun kolonial, ia berpendapat lebih condong untuk mengembangkan warisan sejarah kolonial.
“Warisan sejarah yang bisa dikembangkan adalah warisan kolonialnya. Dengan merevitalisasi peninggalan bangunan bersejarah di Singaraja. Sehingga pengembangannya menjadi jelas,” terangnya.
Iapun mengungkapkan pemberian bantuan sosial (bansos) dari pemerintah, acap kali menimbulkan masalah baru. Karena bangunan yang memiliki nilai cagar budaya, justru dirombak dengan bangunan baru yang jauh dari kesan bersejarah.
“Pemberian bansos ini perlu dicermati betul. Mengingat bansos ini menjadi salah satu unsur penyebab terjadinya pembongkaran cagar budaya. Saya sudah wanti-wanti mengingatkan, agar hati-hati saat merevitalisasi peninggalan sejarah. Agar nantinya tidak menghilangkan nilai sejarah yang terkandung didalamnya,” tukas Agus Suradnyana. (GS)
