Selasa, 14Januari 2020
JAKARTA – PERSBHAYANGKARA.ID
Praktik cawe-cawe yang melanggar hukum di KPU Pusat dan KPU Daerah akan terus berlangsung sepanjang Pemilu Indonesia tidak menerapkan e-voting (pemungutan suara elektronik) berbasis data KTP elektronik alias E-KTP.
Jika Pemilu dan Pilkada masih memakai sistem atau cara lama, maka praktik korupsi masih bisa terjadi di semua aktivitas kepemiluan termasuk Pilkada Serentak tahun ini.
“Karena itulah, kualitas demokrasi kita akan terus tercoreng karena ulah oknum-oknum yang berpengaruh, baik dari KPU itu sendiri juga dari kalangan aktor politik yang haus kekuasaan,” ujar pengamat politik, Emrus Sihombing, dalam keterangan kepada wartawan, Selasa (14/1/2020).
Sebagai negara demokrasi, lanjut akademisi dari Universitas Pelita Harapan itu, kedaulatan politik rakyat mutlak mesti dijaga oleh para penyelenggara Pemilu dan peserta Pemilu selaku aktor politik.
Menyinggung perkara tindak pidana suap yang melibatkan Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, ia menyebutnya sebagai kejahatan luar bisa dalam berdemokrasi. Alasannya, ada upaya mentransaksikan suara rakyat dengan dana operasional yang mencapai Rp900 juta.
“Karena itu, negara harus mendesak, mendorong dan mendukung Kemendagri agar menyegerakan, paling tidak pertengahan Februari 2020, menuntaskan kepemilikan E-KTP bagi seluruh rakyat Indonesia,” lanjut Direktur Eksekutif Lembaga Emrus Corner itu.
Menurut Emrus, E-KTP dengan perangkat teknologinya merupakan tanda identitas tunggal warga negara yang bisa digunakan dalam semua aktivitas sosial, termasuk untuk e-voting pada setiap Pemilu.
“Jika E-KTP ini telah valid dan berfungsi maksimal untuk menyalurkan pilihan dalam suatu kepemiluan, saat itu KPU Pusat dan KPU Daerah dapat dibubarkan,” terang Emrus.
(JMart)
