JAMBI – persbhayangkara.id JAMBI
Fenomena alam saat terjadi kebakaran hutan disertai kabut asap hingga langit berwarna merah, di Desa Puding, Kumpeh Ilir, Kabupaten Muarojambi, Jambi sontak viral, hingga membuat sebagian masyarakat menjadi panik.
Namun, apa yang menjadi kekhawatiran warganet dan masyarakat tidaklah seperti apa yang dibayangkan.
Menurut Dandim 0415/Batanghari Letkol Inf J Hadiyanto, berita ataupun video yang beredar sejak kemarin, dimana menampilkan pagi atau siang dengan latar belakang yang memerah seolah-olah seperti malam hari sebenarnya hal biasa.
“Karena berdasarkan pengambilan video dari drone yang diterbangkan pihak Satgas Karhutla tiap hari terlihat jelas bahwa suasana di Kecamatan Kumpeh Ilir biasa saja. Visibility atau jarak pandang masih cukup jauh menjangkau. Kalau diselimuti asap memang iya, terutama menjelang sore hingga pagi hari. Efek merah akan terlihat menjelang magrib dikarenakan dua hal, yaitu pengaruh matahari terbenam dan posisi berada di belakang lahan yang terbakar sehingga nyala api menimbulkan warna merah,” terangnya, Minggu (22/9/2019).
Sementara, bila posisi sebaliknya maka kondisi akan terlihat terang dan jauh dari asap.
Terpisah, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memiliki penjelasan ilmiah terkait hal tersebut. Melalui Kepala Subbidang Produksi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG Siswanto menyebut langit merah di Muaro Jambi terjadi akibat tingginya kadar polutan di wilayah tersebut.
Hasil analisis citra satelit Himawari-8 pada 21 September di sekitar Muaro Jambi, tampak terdapat banyak titik panas dan sebaran asap yang sangat tebal.
“Asap dari kebakaran hutan dan lahan ini berbeda dari daerah lain yang juga mengalami kebakaran, wilayah lain pada satelit tampak berwarna cokelat namun di Muaro Jambi menunjukkan warna putih yang mengindikasikan bahwa lapisan asap yang sangat tebal,” jelas Siswanto dalam keterangan tertulisnya, Minggu (22/9).
Hal ini dimungkinkan karena kebakaran hutan/lahan yang terjadi di wilayah tersebut, terutama pada lahan-lahan gambut.
Tebalnya asap juga didukung oleh tingginya konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikron (PM10).
“Tengah malam di Jambi, pengukuran konsentrasi PM10 didapati banyaknya volume polutan di udara yakni 373,9 ug/m3, menunjukkan kondisi tidak sehat,” ujarnya.
Di Pekanbaru kondisinya lebih parah yaitu konsentrasi debu polutan PM10 kategori berbahaya dengan banyaknya polutan mencapai 406,4 ug/m3.
Jika ditinjau dari teori fisika atmosfer pada panjang gelombang sinar tampak, langit berwarna merah ini disebabkan oleh adanya hamburan sinar matahari oleh partikel mengapung di udara yang berukuran kecil (aerosol), dikenal dengan istilah hamburan mie (Mie Scattering).
Mie scattering terjadi jika diameter aerosol dari polutan di atmosfer sama dengan panjang gelombang dari sinar tampak (visible) matahari.
Panjang gelombang sinar merah berada pada ukuran 0,7 mikrometer.
“Kita mengetahui bahwa konsentrasi debu partikulat polutan berukuran kurang dari 10 mikrometer sangat tinggi di sekitar Jambi, Palembang, dan Pekanbaru. Tetapi langit yang berubah merah terjadi di Muaro Jambi. Ini berarti debu polutan di daerah tersebut didominasi berukuran sekitar 0,7 mikrometer atau lebih dengan konsentrasi sangat tinggi. Selain konsentrasi tinggi, tentunya sebaran partikel polutan ini juga luas untuk dapat membuat langit berwarna merah,” tandasnya.
Langit yang berubah warna ini bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Pada 2015, di Palangkaraya juga pernah diberitakan beberapa kali mengalami langit berwarna oranye akibat kebakaran hutan dan lahan, yang berarti ukuran debu partikel polutan (aerosol) saat itu dominan lebih kecil atau lebih halus (fine particle) daripada fenomena langit memerah di Muaro Jambi kali ini.(penrem042gapu)