KEPULAUAN ARU – persbhayangkara.id MALUKU
Dobo (13/9) kabupaten kepulauan aru menggelar ritual adat yang melibatkan 6 desa dan 1 etnis yaitu Desa Koba Selfara,Koba Sel Timur,Koba Dangar,Desa Wokam,Desa Ujir,Desa Samang dan Etnis Bugis menunjukan sejarah masa lampau yang menyatukan 2 suku yang berbeda.
Ritual adat antar padi atau yang lebih di kenal dengan antar NENE ini mulai dari penjemputan Rombongan dari 3 Desa yaitu Koba Selfara,Desa Koba Seltimur dan Desa Koba Dangar di pelabuhan adat Galay Dubu Jl Raja Sam oleh kelurga PALALO dan di arak menuju rumah Tua untuk melakukan ritual adat.
Hadir pada ritual adat tersebut Bupati Kabupaten Kepulauan Aru Dr.Johan Gonga,Wakil bupati Muin Sogalrey.Se,Kapolres Aru AKBP.Adolof Bormasa.Sh.Mh,DanLanal Aru LetKol laut (P)Suhatro Silaban,DanPom persipan Kapten Nunung,Danramil 1503 Dobo Kapten Dody Masoei,DPRD fraksi pan Abdulah Fatah Pasolo.Sh,Forkompimda kabupaten kepulauan aru,tokoh adat,tokoh agama dan tokoh masyarakat.
Dalam acara ritual adat di ceritakan sejarah singkat perjalanan antar Padi atau antar NENE oleh Moksen Sinamur.S.Ap(Kepala desa Koba Seltimur).
“Berdasarkan sumber tuturan orang tua adat ratusan tahun lalu bahwa leluhur suku Bugis/Makasar telah menempati pulau wamar bahkan sampai ke pelosok pulau aru sampai saat ini,mereka berkembang dan membuat sejarah baik secara ekonomi maupun sosial dengan masyarakat tradisional di aru,para leluhur Bugis/Makasar suatu saat melakukan perjalanan ke berbagai selat dan pulau di aru dengan perahu yang di kenal dengan sebutan PADUWAKAN,sekitar 350 sampai 500 tahun yang lalu dengan perahu paduwakan perjalanan leluhur bugis/makasar berjumpa dengan leluhur Koba tepat pada hilir sungai koba yang dalam bahasa di kenal dengan sebutan MARTANIN,dan dari sinilah di mulai sejarah hubungan suku bugis/makasar dan orang koba,di ceritakan bahwa leluhur koba mencium bau masakah dari arah leluhur bugis/makasar yang terbawa tiupan angin,Leluhur koba memutuskan pergi dan bertemu dengan leluhur Bugis/Makasar dan leluhur koba meminta beras merah milik leluhur bugis/makasar kemudian di respon dengan hasil kesepakatan.
Tuan harus melalui 7 tanjung untuk sampai di mana makanan itu ada untuk mengambilnya,saya menunggu tuan di pulau wamar di mana tempat berlabuhnya perahu paduwakan ujar leluhur Bugis/Makasar kemudian dalam kurun waktu tidak lama para leluhur koba melakukan perjalan menuju pulau wamar dan berlabuh di pelabuhan Galay Dubu dan tempat itulah yang pertama kali di jejaki oleh leluhur koba dan gunakan untuk tempat berlabuhnya Kora-Kora adat sampai saat ini,kedatangan leluhur koba di sambut hangat leluhur bugis/makasar dan dalam perjumpaan di pulau wamar di peroleh hasil perbincangan sebagai berikut,leluhur bugis/makasar memberikan gambaran jelas sekaligus menunjuk di mana beras itu berada yaitu di pulau wasir sejak saat itu mereka mengikat perjanjian sebagai jabu sampai dunia habis dan tidak bisa menikah,para leluhur bersepakat apapun hasil yang di dapat harus kembali ke pelabuhan galay dubu.meski beberapa kali dilakukan percobaan pengambilan padi hingga pertumpahan darah dan korban nyawa yang banyak dari leluhur Koba,ujir dan samang hingga pencapaian hasil dan di buat kesepakatan lewat perjanjian minum darah.
Setelah penyampaian sejarah singkat di lanjutkan dengan sambutan bupati kabupaten kepulauan aru Dr.Johan Gonga ‘pelaksanaan adat antar padi yang di laksanakan di saat ini,mengingatkan kita akan momentum sejarah masa lampau oleh para leluhur koba dengan masyarakat adat ujir,samang,wokam dan suku bugis/makasar yang terjadi di bumi sarkuarisa kepulauan aru dan oleh komunitas adat tersebut di abadikan secara turun temurun,padi yang oleh masyarakat adat koba di kenal dengan sebutan’MASA TANGEL’telah mengukir sejarah masa lampau dan merupakan peristiwa sakral yang pernah terjadi,peristiwa sejarah padi inilah yang telah mengingat orang koba orang ujir orang samang orang wokan dan juga suku bugis/makasar dalam suatu hubungan persaudaraan yang kita kenal dengan sebutan JABU ikatan persaudaraan ini memiliki makna historis,sehingga wajib kita jaga,melindungi lestarikan sebagai nilai budaya positif yang tumbuh dan berkembang di kabupaten Aru.
Pemerintah kabupaten bahkan negarapun tentunya berkewajiban melestarikan dan melindungi adat yang tubuh dan berkembang di tengah masyarakat seperti tertuang pada pasal 32 ayat 1 UUD negara tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia,guna mewujudkan masyarakat indonesia sesuai prinsip trisakti yang di sampaikan oleh bung karna pada pidatonya tanggal 17 agustus 1964 yaitu berdaulat secara politik,berdikari secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Salah satu objek pemajuan kebudayaan adalah adat istiadat yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat sebagaimana adat antar padi selanjutnya bupati Aru Dr.Johan Gonga mengapresiasi ritual antar padi dan berterima kasih kepada seluruh komponen dan semua yang mendukung ritual antar padi sehingga dapat berjalan dengan hikmad dan untuk Dinas pariwisata agar dapat mempublikasikan dan menjadikan momentum antar padi untuk promosi serta destinasi wisata.
Doa untuk ritual adat yang di bawakan oleh Hj.Hasan Oheirat dan di lanjutkan dengan sholat jumat,arak-arakan rombongan adat dari desa Koba menuju pelabuhan antar padi dan berpamitan ke sesepu bugis/makasar dari keluarga Mataia ke keluarga Binto dan juga Hj.Rasyid dan Rombongan ritual adat berangkat menuju desa Ujir guna mengantar hasil panen padi selama kurun waktu 9 tahun yang berjumlah 6 ton dan di antar oleh 30 kora-kora adat dan 750 orang yang mengantar. (Ojk)